perkembangan hadits masa inda tadwin
Makalah
Dosen
Pengampu : Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad.,M.Si
Disusun
oleh:
Kelompok
2
Kelas
G Semester II
1.
Su’fatul Ulum M.A (1168010268)
2.
Supyani (1168010271)
3.
Syifa Nurul Aulia (1168010275)
4.
Teti Hasnawati (1168010278)
5.
Umi Alifah (1168010282)
6.
Vania Choirunisa (1168010285)
7.
Vyra Rosalia (1168010290)
8.
Whita Kaustavia (1168010293)
9.
Winda Sari (1168010296)
10.
Yayang Syifa F. (1168010300)
11.
Yosep Setiawan (1168010303)
12.
Yusuf Rizki Nasution (1168010306)
13.
Zakaria (1168010309)
JURUSAN
ADMINISTRASI PUBLIK
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan kemudahan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah materi mata kuliah ulumul hadits yang berjudul “ Perkembangan Hadits
Inda Tadwin ” dengan tepat waktu. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah
kepada Rasulullah SAW., beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat.
Makalah ini menjelaskan tentang bagaimana
perkembangan hadits inda tadwin. Semoga materi makalah ini diharapkan dapat
membantu proses belajar kita.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini
masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan dan peningkatan
kualitas makalah di masa yang akan datang dari pembaca adalah sangat berharga
bagi kami.
Demikian makalah ini kami susun, semoga
makalah ini bisa menambah keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin yaa
robbal ‘alamin.
Bandung, April 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadits Nabi
Muhammad SAW adalah dasar dan pokok ajaran agama Islam kedua setelah Al-Qur’an,
Firman Allah SWT. dalam Al-Qur’an Surah Al Imran ayat 132: “Dan taatilah
Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat”. Hadits merupakan sumber panduan
hidup kedua bagi umat islam, sebab bersamaan dengan kewajiban mentaati Allah
SWT, umat Islam dituntut untuk selalu mengikuti dan mentaati Rasulullah SAW
dalam kehidupan sehari-hari. Hadits berbeda dengan Al-Qur’an yang diyakini
kebenarannya dan diakui qath’i wurudnya, dan jika pada awalnya Al-Qur’an sudah
diadakan pencatatan secara resmi oleh pencatat wahyu atau petunjuk dari Nabi
serta, tidak ada tenggang waktu antara turunnya wahyu dengan penulisnya, maka
berbeda dengan hadits. Jika Al-Qur’an secara normatif telah ada generasi dari
Allah, dan tidak ada keraguan keasliannya, maka tidak demikian dengan hadits.
Maka, hadits dalam perkembangannya tidaklah semulus Al-Qur’an, berbagai
keraguan bahkan penolakan muncul seiring perkembangan hadits tersebut.
Meskipun
demikian, keberadaan hadits dalam proses kodifikasinya sangat berbeda dengan
Al-Qur’an yang sejak awal mendapat perhatian secara khusus baik dari Rasulullah
SAW, maupun para shahabat yang berkaitan dengan penulisannya. Selanjutnya,
kodifikasi hadits secara resmi baru dilakukan satu abad setelah Rasulullah,
tepatnya pada masa khalifah Umar bin Abdul Azis, bukan berarti penulisan
Al-Hadits belum ada sebelumnya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa karya tulisan para sahabat
dan tabi’in yang sudah ada sebelumnya, ini menunjukkan bahwa keaslian hadits
dapat dipertanggungjawabkan dan tidak mungkin hadits dapat sampai kepada
tabi’ut tabi’in tanpa melalui proses yang terjadi sebelumnya.
Waktu yang
relatif jauh antara masa Nabi dengan tadwin al-Hadits secara resmi timbulah
beberapa problematika hadits, baik dari sisi keasliannya, periwayatannya,
sampai pada pemilihan dan penganalisaan hadits di kalangan ahli hadits.
Akan tetapi,
umat Islam berusaha membela hadits dan melalui perjuangan para muhaddisin
dengan proses riwayah dan kaidah dirayah berhasil memelihara hadits dan
mengantarkannya ke generasi-generasi untuk diestafetkan bagi amaliah syariat
sepanjang zaman. Meskipun demikian, problematika di atas mengisyaratkan bahwa
umat Islam harus berhati-hati dalam menerima hadits dan menggunakan metode yang
tepat dalam memilah dan memilih hadits bagi pengamalnya. (Ash-Shiddieqy dalam Prof. Endang Soetari: 2:
2016)
Hadis pada masa Rasulullah SAW. dan khulafa’ Al-Rasyidin belum dibukukan secara resmi (tadwin). Hal itu erat kaitannya dengan larangan penulisan selain Al-Qur’an oleh Rasulullah SAW. Meskipun terdapat juga hadis yang membolehkan penulisannya. Hadits yang melarang penulisan misalnya adalah:
Dari Abi Sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah SAW. bersabda “Jangan menulis dariku, barang siapa yang menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah dia menghapusnya. Riwayatkanlah apa yang datang dariku tanpa ada dosa, dan barang siapa yang berdusta atas diriku secara sadar, maka hendaklah dia menyiapkan tempatnya di neraka. Sedangkan hadis yang membolehkan penulisan hadis adalah:
“Dari Abdullah ibn ‘Amr berkata: Saya menulis setiap sesuatu yang aku dengar dari Rasulullah SAW untuk dihafal, lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata: Apakah engkau menulis semua apa yang diucapkan Rasulullah pada waktu marah dan ridha? Lalu saya diam hingga aku laporkan ke Rasulullah SAW. dan berkata “Tulislah! Demi zat yang aku dalam genggamannya, tak satupun yang keluar dariku kecuali kebenaran.”
Rumusan
masalah yang kami simpulkan dalam proses pembuatan makalah ini adalah:
1) Bagaimana Periodisasi Hadits Inda Tadwin?
2) Bagaimana Fase Pentadwinan Hadits dalam Inda Tadwin ?
3) Apa saja Kitab-kitab hasil Pengkodifikasian Hadits masa Inda Tadwin ?
1) Bagaimana Periodisasi Hadits Inda Tadwin?
2) Bagaimana Fase Pentadwinan Hadits dalam Inda Tadwin ?
3) Apa saja Kitab-kitab hasil Pengkodifikasian Hadits masa Inda Tadwin ?
1.3
Tujuan
Adapun
tujuan dari makalah ini yang kami simpulkan adalah:
1) Memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Ulumul Hadits
2)Mengetahui Periodisasi Perkembangan Hadits Inda Tadwin
3) Mengetahui fase pentadwinan Hadits masa Inda Tadwin dan
4) Mengetahui kitab-kitab hasil pengkodifikasian Hadits masa Inda Tadwin.
1) Memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah Ulumul Hadits
2)Mengetahui Periodisasi Perkembangan Hadits Inda Tadwin
3) Mengetahui fase pentadwinan Hadits masa Inda Tadwin dan
4) Mengetahui kitab-kitab hasil pengkodifikasian Hadits masa Inda Tadwin.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Periodisasi Hadits Masa Inda
Tadwin
Periode “ASARH AL-Kitabah Al-Tadwin”
yakni masa pembukuan dan penulisan hadits secara resmi atas inisiatif
pemerintah secara umum, sebab kalau secara perorangan dilakukan sebelum abad
kedua Hijriyah. Masa pembukuan secara resmi dimulai pada awal abad kedua
hijriyah yakni pada masa pemerintahan khalifah Umr ibn Abd al-Azis tahun 101 H.
Usaha ini dimulai ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifah ke depalan dari Bani Umayah) melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghapalnya. Ia mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibnu Amar Hazm (Gubernur Madinah).
Usaha ini dimulai ketika pemerintahan Islam dipimpin oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz (Khalifah ke depalan dari Bani Umayah) melalui instruksinya kepada para pejabat daerah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadits dari para penghapalnya. Ia mengintruksikan kepada Abu Bakar bin Muhammad ibnu Amar Hazm (Gubernur Madinah).
A. Dorongan Bagi Usaha Pentadwinan Hadits
Hal-hal yang mendorong timbulnya usaha pentadwinan hadits secara resmi adalah sebagai berikut:
a. Pada akhir
abad I H, para penghafal hadits semakin berkurang karena berguguran dalam
berbagai peperangan.
b. Periwayatan
secara lisan dengan berpegang pada hafalan dan ingatan keseragaman lafazh dan
makna tidak bisa berlangsung sangat lama sebabnya ialah:
1) Faktor intern: Kondisi kaum muslimin sendiri dalam
menghafal riwayat dan memelihara hafalan tersebut makin lama berkurang,
dikarenakan antara lain:
a. Semangat
penghafal berkurang karena pengaruh ingkar iman yang berada pada dada kaum
muslimin melemah
b. Perubahan
watak, Pengaruh percampuran ras dan berubahnya keadaaan masyrakat dan
kehidupan.
2) Faktor ekstern: Pengaruh yang datang dari luar, antara lain :
Makin banyaknya problema hidup dari masa ke masa dalam berbagai sektor kehidupan: sosial, ekonomi dan politik. Tidak henti-hentinya terdapat serangan dari kaum yang sengaja merusak hadits dengan jalan mengaburkan hadits hadits yang sebenarnya.
a. Terbunuhnya
Khalifah Utsman dalam persengketaan kekhalifahan antara Ali dan Muawiyah,
menimbulkan terpecahnya kaum muslimin, umat muslim terpecah pada golongan Khawarij,
Syiah, Murji’ah, dan ahl-al Sunnah maka pada akhir abad ke 1 H, pemalsuan
hadits semakin memuncak, hadits-hadits palsu yang bermotif zhandaqh dan
ashabiyah semakin banyak beredar di kalangan umat, sehingga menimbulkan
kekaburan bagi orang awam. Karena itu untuk memisahkan hadits yang benar dan palsu
diadakan pencatatan hadits-hadits yang benar-benar datang dari Nabi Muhamad
SAW.
b. Pada masa
tabi’in tidak dikhawatirkan lagi tercampurnya antara Al-Qur’an dan Hadits,
sehingga tidak menimbulkan kesamaan tentang Al-Qur’an sebagai dasar tasyri yang
pertama telah dibukukan, maka hadits yng berfungsi sebagai interpretasi
Al-Qur’an secara otomatis harus dibukukan pula.
c. Perkembangan
ilmu pengetahuan semakin maju karena semakin luasnya ruang lingkup pengenalan
umat dan pertemuan peradaban antara orang Islam dengan anak-anak negeri yang
kemudian menjadi wilayah Islam, begitu pula pengaruh literatur yang datang dari
luar, maka merangsang dan mendorong kearah pentadwinan atau pembukuan hadits,
sebab hadits adalah salah satu sumber ilmu pengetahuan.
d. Pada umat
Islam sudah tersedia potensi atau sarana penulisan, pengumpulan dan pembukuan
hadits yakni kepandaian tulis baca yang semakin meluas diantara kalangan bangsa
arab, dan semakin bersemangat memelihara dan membina sunnah nabi, baik dalam
mencari, memahami, menghafal, mengamalkan, dan menyebarkan. Dengan demikian
untuk aktifitas pentadwinan hadits, umat Islam siap lahir batinnya.
B. Tujuan dan Faedah Pentadwinan Hadits
a) Segi Kepentingan Umat
Tujuan tadwin hadits dari segi kepentingan
agama berpangkal pada masalah pemeliharaan syariat. Tegasnya tadwin hadits
diselenggarakan untuk tujuan pemeliharaan syariat Islam hal ini sebagaimana
telah di nashkan oleh Allah SWT dalam Al-Quran: “Sesungguhnya kamilah yang
menurunkan al-Dzikir (Al-Quran) dan sesungguhnya Kamu (pula lah) yang
memelihara “( Q.S. Al-Hjir : 9).
b) Dari Segi Kebutuhan Umat
Tujuan dan Faedah tadwin hadits
berhubungan dengan pengamalan syariat Islam. Yakni:
a. Untuk
pelaksanaan agama, maka umat Islam memerlukan sekali pedoman praktis yang
secara mudah dan efisien dapat diperoleh sewaktu-waktu dan kapan saja
memerlukannya. Berguru dan menghafal hadits dimasa mutakhir ini sudah sangat
sulit. Hal ini jelas disebabkan oleh faktor-faktor yang telah disebutkan
diatas. Maka adalah efisien apabila disediakan cacatan dan kumpulan hadits Nabi
Muhammad SAW tersebut dan ditentukan cara-cara pemakaiannya.
b. Untuk
Istinbats hukum bagi persoalaan-persoalan kehidupan yang dijumpai dalam
masyarakat, dan bertahkim atau berdalil untuk pemantapan amal keagamaan terasa
perlu ada tersedianya diwan-diwan dasar tasyri sebagai pegangan tempat kembali.
c. Untuk
menghindari kekaburan dikalangan umat Islam tentang hadits, karena hadits telah
tercampur oleh hadits palsu, maka dengan adanya tadwin yang khusus menghimpun
hadits betul-betul hadits dan membuang yang palsu, dapat menghilangkan keraguan
kaum muslimin dalam mengamalkan sunah Nabinya.
Sadar akan pentingnya tadwin bagi
pemeliharan hadits sebagaimana dasar tasyri dan didorong oleh kebutuhan umat
Islam dan efisiensi hadits sebagai dalil agama Islam istinbath dan berhujah
untuk pengamalan agamanya dan insyaf akan bahaya lenyapnya hadits maka
bergeraklah para ulama melaksanakan pentadwinan hadits-hadits tersebut.
Untuk merealisasikan niatnya itu pertama-tama
beliau meminta kepada gubernur Madinah Abu Bakar bin Muhamad bin Hamzah supaya
membukukan hadits Nabi Muhamad SAW yang terdapat pada Amarah binti Abdul Rahman
ibnu Ros’ad ibnu Jurarah ibnu Ades, yaitu seorang wanita ahli fiqih murid
Aisyah R. A. yang terkenal sebagai penghafal hadits
Isi surat tersebut; “Lihatlah dan perikasalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasul SAW, lalu tulislah karena aku takut lenyap Ilmu karena meninggalnya ulama dan jangan anda terima kecuali hadits Rasul SAW dan sebarkanlah ilmu (hadits) dan adakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya, lantaran lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia”. (Riwayat Ad-Damiri).
Isi surat tersebut; “Lihatlah dan perikasalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasul SAW, lalu tulislah karena aku takut lenyap Ilmu karena meninggalnya ulama dan jangan anda terima kecuali hadits Rasul SAW dan sebarkanlah ilmu (hadits) dan adakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya, lantaran lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia”. (Riwayat Ad-Damiri).
Surat perintah diatas dapat disimpulkan:
1. Perintah meneliti dan membukukan hadits
Rasul SAW. dengan ketentuan jangan diterima selain hadits Rasul.
2. Perintah menyebarluaskan hadits-hadits tersebut
dengan jalan mengadakan majelis-majelis ilmu, supaya tidak lenyap karena
menjadi rahasia.
Bergeraklah para ulama diseluruh negeri menyambut intruksi khalifah tersebut untuk mencari hadits, meneliti, menghimpun, dan menyusun lalu membukukannya. Pelopor mudawin adalah Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaydillah Ibn Syihab Al-Juhri, seorang tabi’in yang ahli dalam bidang fiqih dan hadits.
Bergeraklah para ulama diseluruh negeri menyambut intruksi khalifah tersebut untuk mencari hadits, meneliti, menghimpun, dan menyusun lalu membukukannya. Pelopor mudawin adalah Abu Bakar Ibn Muhammad Ibn Muslim Ibn Ubaydillah Ibn Syihab Al-Juhri, seorang tabi’in yang ahli dalam bidang fiqih dan hadits.
Pelopor-pelopor lainnya adalah : Ibn
Juraiz di Makkah, Ibn Ishaq, Ibn Abi Jibbin dan Malik Ibn Annas di Madinah,
Arabi Ibn Sahib, Hammat ibn Salamah, Sait Ibn Audjai di Syam, Khusaim Al-wasith,
Ma’mar Al-azbi di Yaman, Jarir Al-Dabby Dir’i, ibn Mubarak di Khurasan, Al-
Yaist di Mesir
Aktivitas pentadwinan hadits berlangsung selama abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, yakni aktifitas sampai terkumpulnya seluruh hadits dalam diwan-diwan hadits. Perkembangan hadits pada abad 2 hijriyah merupakan masa periode ke-4, yakni Ashr al-kitabi wa al-tadwin, sedang abad ke-3 termasuk period ke-5 yang disebut Ashr al-Tajrid al-Tahshhih yaitu masa penyaringan, pemilahan dan perlengkapan hadits.
Aktivitas pentadwinan hadits berlangsung selama abad ke-2 dan ke-3 Hijriyah, yakni aktifitas sampai terkumpulnya seluruh hadits dalam diwan-diwan hadits. Perkembangan hadits pada abad 2 hijriyah merupakan masa periode ke-4, yakni Ashr al-kitabi wa al-tadwin, sedang abad ke-3 termasuk period ke-5 yang disebut Ashr al-Tajrid al-Tahshhih yaitu masa penyaringan, pemilahan dan perlengkapan hadits.
Aktifitas tadwin selama abad 2 dan 3
Hijriyah sebagai aktifitas tadwin resmi dan intensif, biasa dikatakan sebagai
aktifitas tadwin “inda Al-tadwin”. Pembahasan mengenai aktifitas tadwin Inda Al-tadwin, ditinjau dari corak
penyusunannya dan sistem yang digunakan, maka sepanjang yang telah ditempuh
para ulama muhaddisin aktifitas tadwin tersebut dibagi pada 3 fase
perkembangan, yakni (1) fase tadwin masa pertama, (2) fase tadwin kualifikasi,
dan (3) fase tadwin dengan seleksi.
Pada fase ini para muddawin
mengadakan tadwin dengan memasukan ke dalam diwannya semua hadits, baik sabda
nabi Muhammad SAW maupun fatwa sahabat dan tabi’in, jadi meliputi hadist marfu,
maukuf, dan maqthu. Corak tadwin ini berlangsung selama abad 2 Hijriyah, kitab-kitab
yang disusun pada masa ini tidak sampai pada masa kita sekarang kecuali kitab
Al-Muwathu, susunan Malik Ibn Annas.
Kitab ini merupakan kitab terbesar pada masa ini yang disusun dengan sistem tasynif, yakni dengan meletakkan hadits yang ada hubungannya dengan yang lain dalam satu bab, kemudian dikumpulkan bab itu ke dalam mushanab. Al-Muwatha berisi 1726 hadits yang terdiri dari 600 musannad, 220 Mursal, 613 Mauquf dan 285 Maqthu. Kitab ini mendapat perhatian yang besar, baik dari kalangan ulama maupun pemerintah. Perhatian para ulama terbukti dari usaha memperluas kitab tersebut dengan mengusahakan syarahnya serta muhsyaharahnya.
Diantara Syaratnya adalah kitab
al-Tahnid dan al-Istidzkar oleh Ibn Abd Albar (436 H), Kasyf Al-Mughatha ‘fi
Syarh al-Murwaththu’ oleh al-Syuyuti (911 H), al-Musawwa oleh Quthb al-Din
Ahmad ibn ‘Abd al-Barr dan Mukhtashar al-Baji. Al-Muwatha’ mempunyai banyak
naskahnya, al-Suyuthi menerangkan bahwa yang terkenal ada 14, tiga diantaranya
adalah naskah yahya bin Yahya al-Laits al-Andalusi, naskah ibn Mus’ad Ahmad ibn
Abi Bakar al-Qasimy, dan naskah ibn Hasan al-Syaibani.
Pada awal
abad 3 Hijriyah, para ulama melaksanakan tadwin hadits dengan memisahkan antara
sabda Nabi Muhamad SAW., dengan fatwa sahabat dan tabi’in (kualifikasi). Tapi
masih mencampur saja antara hadits-hadits shahih, hasan, dan dhaif, sehingga
lantaran ini orang-orang yang kurang ahli masih dapat secara mudah mengambil
pengertian hukum atau mengetahui nilai hadits tersebut.
Sistem penyusunan yang dipakai adalah tasnid, yakni menyusun hadits dalam kitab-kitab berdasarkan nama perawi. Sedangkan, di dalam menerbitkan nama shahabat ada yang menerbitkan menurut tartib kabilah, ada yang menurut masa memeluk agama Islam, dan ada pula yang tidak memperhatikan tertiban ini.
Sistem penyusunan yang dipakai adalah tasnid, yakni menyusun hadits dalam kitab-kitab berdasarkan nama perawi. Sedangkan, di dalam menerbitkan nama shahabat ada yang menerbitkan menurut tartib kabilah, ada yang menurut masa memeluk agama Islam, dan ada pula yang tidak memperhatikan tertiban ini.
Sistem
tasnid dan musnad ini kelemahannya adalah sulit dalam mencari atau mengetahui
hukum-hukum syara sebab hadits yang dikumpul dalam satu tempat tidak satu
tema.Kitab hadits yang disusun dengan sistem secara ini dinamakan mushanad.
Musnad-musnad yang disusun pada masa ini banyak sekali antara lain; Musnad
‘Ubaidillah ibn Musa (123 H.), Musnad Hanafi (150 H.), Musnad al-Syafi’i (204
H.), Musnad Abu Dhawud al-Tayalisi (201 H.), Musnad al-Abasi, Musnad Abu Ya’la
al-Maushuli, Musnad al-Mawrzi, Musnad ‘Utsman ibn Abi Syaibah, Musnad Nu’aim
ibn Hammad, Musnad ‘Ali al-Maididi, musnad al-Bazzar, musnad Baqi ibn Makhlad,
Musnad ibn Rahawaih, Musnad Abu Bakar, Musnad al-Baghawi, musnad al-Masaekhasi,
dan Musnad Sa’id ibn Mansur. Di antara kitab-kitab musnad tersebut yang paling
menonjol adalah musnad Ahmad. Musnad ini berisi 40.000 Hadits dengan
berulang-ulang atau 30.000 Hadits dengan tidak berulang-ulang.
Sedemikian
besar hadits yang dihimpun, didalamnya sehingga musnad itu sudah melengkapi dan
menghimpun kitab-kitab hadits yang lainnya dan kitab ini dapat memenuhi segala
yang diperlukan oleh muslim dari urusan agama dan dunianya. Begitu pula ada
yang menerbitkan musnad Ahmad itu menurut bab fiqih, seperti yang dilakukan
oleh Ahmad ibn Abd-Arrahman ibn Muhamad al-Bana dalam kitab yang diberi nama
Fath al-Rabbani yang kemudian disarahkan dalam kitab bulugh al-Amani.
B. Fase Tadwin dengan Seleksi
Pentadwinan
hadits corak ini berlangsung mengikuti corak kualifikasi antara hadits marfu
dengan hadits mauquf dan maqthu. Dalam sejarah perkembangan hadits, terkenal
dengan sebutan kualifikasi dan seleksi Ashr-atajrib wa’al tashaiha wa’al tanqih
(masa penyaringan, pemilihan dan perlengkapan). Seleksi hadits dilakukan terhadap
nilai hadits yakni memilih hadits yang shahih saja untuk di bukukan. Hal yang
mendorong usaha tadwin dengan seleksi ini adalah karena meluasnya pemalsuan
hadits di akhir abad 2 H dan abad awal 3 H.
Seleksi yang tertinggi yang dipergunakan olah muddawin kitab shahih yakni yang dilakukan oleh Bukhori dan Muslim melalui syarat-syarat. (1) sanad yang muthasil, (2) perawi yang muslim, bersifat benar, tidak suka berdusta (tadlis), tidak berubah akal, adil, kuat hafalan, tidak ragu-ragu, dan beritikad baik.
Seleksi yang tertinggi yang dipergunakan olah muddawin kitab shahih yakni yang dilakukan oleh Bukhori dan Muslim melalui syarat-syarat. (1) sanad yang muthasil, (2) perawi yang muslim, bersifat benar, tidak suka berdusta (tadlis), tidak berubah akal, adil, kuat hafalan, tidak ragu-ragu, dan beritikad baik.
1.
Ta’wilu Muhatalifil Hadits.
Kitab ini adalah suatu kitab yang besar
manfaatnya. Di disusun oleh Ibnu Qutaibah untuk membela hadits dan ahlinya,
mempertahankan kebenaran dan memusnahkan kebatilan. Di dalam kitab ini Ibnu
Qutaibah membantah pendapat orang-orang yang memusuhi ahli hadits dan
mempertemukan hadits yang dipandang menerangkan atau yang dilihat muskhil.
Penting
benar kita mempelajari uraian Ibnu Qutaibah, karena sebagian dari kritik-kritik
dan tuduhan-tuduhan yang dihadapkan oleh orientalis di masa sekarang adalah
kritik-kritik yang telah dijawab oleh Ibnu Qutaibah dalam kitabnya itu. Juga di
dalam kitab tersebut Ibnu Qutaibah menerangkan cara-cara mempertemukan
hadits-hadits yang dikatakan berlawanan oleh Ahli Kalam.
2.
Musnad Ahmad.
Musnad
adalah suatu kitab yang melengkapi dan menghimpun kitab-kitab hadits yang
selainnya dan suatu kitab yang dapat memenuhi segala yang diperlukan oleh
seorang muslim dalam urusan agamanya dan dunianya. Musnad Ahmad melengkapi
40.000 hadits dengan berulang-ulang, 30.000 dengan tidak berulang-ulang. Namun
demikian masih ada juga hadits yang tidak ditampung oleh musnad itu.
Musnad yang
ada di hadapan kita sekarang bukanlah semua dari riwayat Ahmad sendiri tetapi
sebagian isinya adalah tambahan-tambahan dari luar yang ditambahkan oleh putra
Ahmad yang bernama Abdullah dan yang ditambahkan oleh Abu Bakar Al-Qot’i.
a.
Derajat Hadits Ahmad.
Para ulama
mempunyai tiga pendapat dalam menilai hadits-hadits Ahmad. Pertama, segala
hadits yang terdapat di dalamnya dapat dijadikan hujjah. Hal ini berdasar pada
perkataan Ahmad sendiri diwaktu ditanyakan kepadanya tentang nilai suatu
hadits, yaitu: “Lihatlah, apakah hadits ini jadi ada di dalam Al-Musnad. Jika
tidak ada di dalam Al-Musnad, maka hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah”.
Kedua, di dalam Al-Musnad ada hadits yang
shahih dan ada yang dhaif, bahkan ada yang maudlu. Ibnu Zauji menerangkan di
dalam kitab Al-Musnad ada 29 hadits maudlu, kemudian Al-‘Iroqi menambah 9 buah
lagi.
Ketiga, Ibnu Hajar telah menyusun sebuah kitab untuk membela dan mempertahankan nilai hadits Al-Musnad yang kesimpulannya menandaskan bahwa didalam Al-Musnad, tidak ada hadits maudlu.
Ketiga, Ibnu Hajar telah menyusun sebuah kitab untuk membela dan mempertahankan nilai hadits Al-Musnad yang kesimpulannya menandaskan bahwa didalam Al-Musnad, tidak ada hadits maudlu.
b.
Perhatian Ulama Terhadap Musnad Ahmad.
Banyak ulama
yang memberikan perhatian kepada kitab Al-Musnad. Ada yang mengumpulkan lafazd
–lafazd yang ghorib yang terdapat dalam Al-Musnad dan memaknakannya.
Pada masa
akhir-akhir ini musnad Ahmad telah ditertibkan menurut bab fikih oleh Ahmad
Ibnu Abdurrahman Ibnu Muhammad Albana yang terkenal dengan As-sa’ati, yang
selesai dikerjakan pada tahun 1350 Hijriyah, pada tahun 1351 H, dan dijadikan
tujuh bagian. Kitab itu dinamakan Alfatur Rabbani. Kemudian kitabnya itu di
syarahkan dalam suatu kitab yang lain yang dinamakan dengan bulughul amani.
3) Kitab Shahih Bukhori.
a.
Penggerak kepada Penyusunnya.
Imam
Albukhori mengumpulkan sekumpulan hadits yang shahih sanadnya dan sejahtera
matannya daripada ilat. Disusun dan ditertibkan menurut bab-bab fikih dan
tafsir keinginannya itu dikuatkan lagi oleh perkataan gurunya Ishak Ibnu
Rohawaih yang mengatakan kepada muridnya: “Alangkah baiknya andai kata anda
mengumpulkan suatu kitab mukhtasar yang berisi hadits-hadits yang shahih”.
Setelah Albukhori mendengar yang demikian, beliaupun menyusun Aljamius Shahih. Hadits-haditsnya dikeluarkan dari 600.000 hadits dan dikerjakan dalam tempo 16 tahun. Setiap beliau menulis suatu hadits, lebih dahulu beliau mandi dan sembahyang dua rakaat.
Perlu ditegaskan, bahwa hadits yang terdapat dalam al-bukhori yang dikatakan shahih, ialah hadits-hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil. Dialah pokok pembicaraan kitab. Kemudian Al-bukhori menyebut pula hadits-hadits maukuf, mualaf, fatwa-fatwa sahabat, tabi’in dan pendapat ulama. Hadits-hadits yang mualak dan maukuf tidak masuk ke dalam pokok pembicaraan kitabnya. Hadits-hadits ini disebut sekedar mengokohkan sahanya, bukan untuk menjadi pokok pegangan.
Setelah Albukhori mendengar yang demikian, beliaupun menyusun Aljamius Shahih. Hadits-haditsnya dikeluarkan dari 600.000 hadits dan dikerjakan dalam tempo 16 tahun. Setiap beliau menulis suatu hadits, lebih dahulu beliau mandi dan sembahyang dua rakaat.
Perlu ditegaskan, bahwa hadits yang terdapat dalam al-bukhori yang dikatakan shahih, ialah hadits-hadits yang diriwayatkan dengan sanad yang muttasil. Dialah pokok pembicaraan kitab. Kemudian Al-bukhori menyebut pula hadits-hadits maukuf, mualaf, fatwa-fatwa sahabat, tabi’in dan pendapat ulama. Hadits-hadits yang mualak dan maukuf tidak masuk ke dalam pokok pembicaraan kitabnya. Hadits-hadits ini disebut sekedar mengokohkan sahanya, bukan untuk menjadi pokok pegangan.
b.
Bilangan Hadits-haditsnya.
Menurut keterangan Alhafid Ibnu
Hajar, bilangan hadits yang terdapat didalam Shahih Albukhori bersama dengan
yang berulang-ulang, ialah 7394, selain yang mualak, muttaba dan yang maukuf.
Jika diambil yang tidak berulang-ulang dari hadits-hadits yang mausul, maka dia
berjumlah 2602.
c. Perawi-perawi
Shahih Albukhori.
Shahih Albukhori telah didengar
lebih kurang oleh 90.000 orang. Yang terkenal diantara mereka, ialah: Abu
Abdullah Muhammad Ibnu Yusuf Alfirabri (320 H), Ibrahin Ibnu Makil Annasafi
(294 H), Hammad Ibu Syakir Annasawi (290 H), Abu Talhah Mansyur
Ibnu Muhammad Albajdawi (329 H).
d. Pengertian-pengertian yang dilengkapi oleh Judul-judul Bab yang Diberikan oleh AL-Bukhori.
Al-Bukhori adalah salah seorang dari
Imam fiqihyang mujtahid. Karenanya, kitbnya mengumpul kebanyakan masalah fiqih.
Di dalam judul-judul bab beliau peletakan hasil ijtihadnya yang menunjukkan
kepada keahliannya dalam bidang fiqih dan kemampuan mengistimbat hukum dari
pada hadits.
Jalan Pertama: Ialah, judul bab
menunjukkan dengan jalan mutabaqah kepada pengertian yang dikandung oleh
hadits, seperti beliau mengatakan: “Inilah bab yang di dalamnya terdapat ini,
ini, ini, atau bab menyebut dalil yang menunjuk kepada hukum itu”, umpamanya.
Jalan Kedua: Ialah, judul bab
disusun dengan lafadz yang umum, sedang hadits-hadits yang diberi judulnya,
adalah khas, untuk memberkan pengertian bahwa hadits itu adalah umum, walaupun
hadits itu khusus keadaannya. Atau sebaliknya. Kerap kali Al-Bukhori membuat
yang demikian ini, apabila beliau tidak menemukan hadits yang sesuai dengan
syaratnya dalam bab yang beliau kehendaki. Kerap kali pula beliau membuat judul
dengan bab lafadz intisyam, seperti beliau mengatakan: Bab, apakah apa yang
demikian? Atau siapakah yang mengatakan yang demikian. Kerap kali pula membut
judul yang nampaknya kurang manfaat, tetapi apabila diperhatikan secara
mendalam, banyak manfaatnya.
4) Kitab Shahih Muslim
a. Isi Shahih
Muslim dan Nilainya Shahih muslim, ialah kitab yang disususn oleh Muslim Ibnul
Hajjaz Annaisyabury yang menumpulkan hadits yang shahih yang bersajaha. Kitab
ini terletak setelah shahih Al-Bukhori. Muslim dalam menyusun shahihnya
menuntun jalan yang sistematis yang menyebabkan kita mudah menemukan hadits
yang kita perlukan; karena Muslim mengumpulkan hadits yang bersesuaian satu
sama lain di suatu tempat, dengan menyebut jalan-jalan hadits itu dan
sanad-sanadnya, serta lafadz-lafadz yang berbeda-beda.
Muslim menerangkan dipendhuluan jaminya (shahihnya), bahwa beliau membagi hadits ke dalam tiga bagian:
Muslim menerangkan dipendhuluan jaminya (shahihnya), bahwa beliau membagi hadits ke dalam tiga bagian:
b. Pertama:
Yang diriwayatkan oleh para hufadz yang ahli, Kedua: Yang diriwayatkan oleh
orang yang tidak diketahui keadaannya yang sederhana hafadzannya dan
kedhabitannya. Ketiga: Yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak diambil
habis-habisnya. Shahih Muslim ditertibkan menurut bab fiqih. Akan tetapi,
Muslim tidak menyebut judul-judulnya. Judul-judul bab ini dibuat oleh
pensyarah-syarahnya. Sebaik-baik pensyarag-syarah yang telah membuat judul
hadits-hadits Muslim, ialah An-Nawawi.
c. Pembangkit
yang Membangkit Muslim Menyusun Shahihnya
Ialah keinginan mengumpul sejumlah hadits yang shahih dan mengandung hukum-hukum syara, sunnah-sunnah-Nya dan lain-lain dengan cara-cara yang memmudahkan para pembahas, baik dalam bdang fiqih maupun dalam bidang yang lain. Musannaf yang ada pada masa itu, sukar kita mempergunakannya lantaran mengcampurkan yang shahih dan yang tidak.
Ialah keinginan mengumpul sejumlah hadits yang shahih dan mengandung hukum-hukum syara, sunnah-sunnah-Nya dan lain-lain dengan cara-cara yang memmudahkan para pembahas, baik dalam bdang fiqih maupun dalam bidang yang lain. Musannaf yang ada pada masa itu, sukar kita mempergunakannya lantaran mengcampurkan yang shahih dan yang tidak.
d. Syarat
Al-Bukhori dan Muslim.
Al-Bukhori dan Muslim tidak jelas menerangkan apa yang
beliau pegangi dalam menshahihkan hadits. Hanaya diketahui yang demkian dengan
menyelidiki dan mendalami kitab-kitabnya. Para ulama, dalam menentukkan
syarat-syarat Al-Bukhori dan Muslim, mempunyai beberapa pendapat: Syurutul Al
Imanis Shittah, yaitu syarat Al-Bukhori dan Muslim, ialah: meriwayatkan hadits
yang disepakati kepercayaaan dan kedhabitan perwinya sampai kepad sahabat yang
mashyur tanpa ada perselisihan antara orang-orang yang kepercayaaan dan
sanadnya mutassil.hadits itu adakalanya diterima dari sahabat oleh beberapa
orang perawi dan adakalanya di terima dua orang perwi saja.akan tetapi
Al-Bukhori meninggalkan hadits-hadits sebagian perawi karena ada suatu syubat
sedang Muslim meriwayatkan hadits-hadits orang itu. Lantara tak ada syubat yang
dirasakannya.
Walaupun Al-Bukhori dan Muslim
masing-masingnya meriwayatkan hadits-hadits yang shahih, tetapi shahih
Al-Bukhori dianggap lebih shahih dari shahih Muslim dan didhulukan shahih
Al-Bukhori dan atas shahih Muslim. Hal itu adalah karena ulama-ulama hadits
yang terkemuka mengakui bahwa tidak ada isi sesuatu kitab hadits yang lebih
baik dari pada isi kitab Al-Bukhori, yakni: Lebih baik sanadnya; dan karena
syarat-syarat menetapkan shahih sesuatu hadits, lebih kuat di dalam shahih Al-Bukhori
daripada shahih Muslim.
5) Kitab Sunan An-Nasa’ie.
An-Nasa-iy menyusun sebuah kitab
yang bernama As-Sunanul Kubera, yang di dalamnya ada hadits yang shshih da nada
yang ma’lul. Kemudian beliau meringkaskannya dalam sebuah kitab yang dinamakan
“As-Sunanush Shughra” dan dinamakan “Al-Mudjtaba”. Isinya adalah shahih menurut
pendapat An-Nasaiy.
Kitab Al-Mudjtaba ini adalah sebuah kitab yang paling sedikit hadits dhaif dan perawi yang tercela. Menurut pendapat sebagian ulama, dia terletak sesudah Shahih Buchary dan Shahih Muslim. Ringkasnya, syarat An-Nasaiy dalam Al-Mudjtaba, adalah syarat yang terkuat sesudah syarat-syarat Al-Buchary dan Muslim.
Kitab Al-Mudjtaba ini adalah sebuah kitab yang paling sedikit hadits dhaif dan perawi yang tercela. Menurut pendapat sebagian ulama, dia terletak sesudah Shahih Buchary dan Shahih Muslim. Ringkasnya, syarat An-Nasaiy dalam Al-Mudjtaba, adalah syarat yang terkuat sesudah syarat-syarat Al-Buchary dan Muslim.
6) Kitab Sunan Abu Daud.
Abu Daud memetik Sunannya dari
500.000 hadits. Maka jumlah hadits yang dipetik dari himpunan itu sebanyak 4800
hadits, kesemuanya dalam bidang hukum. Abu Daud adalah imam hadits yang ahli
dalam bidang fiqh sesudah Al-Buchary. Karenanyalah kitabnya melengkapi segala
bab fiqh dan melengkapi hadits-hadits yang dipergunakan oleh ulama-ulama fiqh
dan dijadikan dasar hukum.
Derajat hadits-hadits Sunan Abu
Daud:
Menurut pendapat Ibnu Shalah, segala hadits yang disebut oleh Abu Daud secara mutlak sedang hadits itu tidak ada di dalam Al-Buchary dan Muslim dan tidak dinashkan keshahihannya oleh seseorang tokoh hadits, maka hadits itu hasan menurut Abu Daud. Dalam pada itu Abu Daud mengambil hadits yang dhaif apabila tidak diperoleh hadits yang shahih.
Menurut pendapat Ibnu Shalah, segala hadits yang disebut oleh Abu Daud secara mutlak sedang hadits itu tidak ada di dalam Al-Buchary dan Muslim dan tidak dinashkan keshahihannya oleh seseorang tokoh hadits, maka hadits itu hasan menurut Abu Daud. Dalam pada itu Abu Daud mengambil hadits yang dhaif apabila tidak diperoleh hadits yang shahih.
7) Kitab Sunan At-Tirmidzi.
Kitab ini terkenal dengan nama:
Djami’ut Turmudzy. Kadang-kadang dikatakan pula As-Sunan. At-Turmudzy menyusun
kitab Djami’nya menurut bab fiqh dan diisikan dengan hadits-hadits yang shahih,
hasan, dan dhaif dengan diterangkan derajat masing-masingnya dan sebab-sebab
kedahifannya, sebagaimana At-Turmudzy menyebut madzhab-madzhab Shahabat,
Tabi’in, dan para fuqaha. At-Turmudzy meringkaskan jalan-jalan hadits dengan
jalan menyebut sebuah sanad saja dan mengisyaratkan kepada lainnya. Diakhir
kitab diterangkan ‘illat-‘illat hadits.
Menurut Ibnu Radjab hadits-hadits
At-Turmudzy ada yang shahih, ada yang hasan, ada yang gharib, yang
sebahagiannya munkar walaupun kerap kali diterangkan yang demikian.
8) Sunan Ibnu Madjah.
Ulama mutaqaddimin dan kebanyakan ahli tahqiq
dari golongan mutakhkhirin berpendapat bahwa induk kitab hadits hanya lima,
yaitu: Shahih Al-Buchary, Shahih Muslim, Sunan An-Nasaiy, Sunan Abu Daud, dan
Sunan At-Tarmidzi. Sebagian mutakhkhirin menetapkan bahwa kitab induk enam,
dengan menambah Sunan Ibnu Majah kepada yang lima itu, lantaran mereka
berpendapat, bahwa kitab Sunan Ibnu Majah besar manfaatnya dalam bidang ilmu
fiqh.
Yang mula-mula menambah kitab induk menjadi enam, ialah Ibnu Tarir Al-Maqdisy (507 H) dalm Athhraf kitab 6. Kemudian diikuti oleh Abdul Ghaniy Al-Maqdisy dalam kitab Al-Iqmal di asma-ir ridjal. Sebagia ulama mengungkapkan bahwa kitab yang enam ialah Al-Muwatha. Diantara yang menetapkan demikian ialah Razien Ash-Sharghastiy (535 H) di dalam kitab. Tadjridush Shahih, dan Ibnul Atsier dalam kitab Djami’ul Ushul.
Yang mula-mula menambah kitab induk menjadi enam, ialah Ibnu Tarir Al-Maqdisy (507 H) dalm Athhraf kitab 6. Kemudian diikuti oleh Abdul Ghaniy Al-Maqdisy dalam kitab Al-Iqmal di asma-ir ridjal. Sebagia ulama mengungkapkan bahwa kitab yang enam ialah Al-Muwatha. Diantara yang menetapkan demikian ialah Razien Ash-Sharghastiy (535 H) di dalam kitab. Tadjridush Shahih, dan Ibnul Atsier dalam kitab Djami’ul Ushul.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kondifikasi atau taswin hadits,
artinya pencatatan, penulisan, atau pembukuan hadits. Kegiatan ini dimulai pada
masa pemerintahan Islam dipimpin oleh khalifah Umar Bin Abd-Al-Aziz (Khalifah
kedelapan dari kekhalifahan Bani Umayyah). Melalui intruksinya kepada Abu Bakar
Bin Muhammad Bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah.
Latar belakang kondifikasi oleh khalifah Umar
Bin Abd-Al-Aziz, ada tiga hal pokok yang melatar belakanginya, yaitu: Pertama,
Ia khawatir hilangnya hadits-hadits dengan meninggalnya para ulama di medan
perang. Kedua, Ia khawatir akan tercampurnya antara hadits-hadits yang sahih
dengan hadits-hadits palsu. Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah
kawasan Islam, sementara kemampuan para Tabi'in antara satu dengan yang lainnya
tidak sama. Kodifikasi atau Tadwin hadits masa Inda adalah sejak akhir abad I
Hijriah sampai akhir abad IV Hijriah.
Dalam kodifikasi hadits ada masa
seleksi hadits. Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan
penyaringan hadits yang deterimanya melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya.
Para ulama pada masa ini berhasil memisahkan hadits yang Dha'if dari yang
Shahih dan hadits-hadits yang Mauquf dan yang Marfu', meskipun berdasarkan
penelitian para ulama berikutnya masih ditemukan tersisipkanya hadits-hadits
yang Dha'if pada kitab-kitab shahih.
Kodifikasi hadits, setelah
berakhirnya masa seleksi hadits memasuki masa pengembangan dan penyempurnaan
sistem penyusunan kitab-kitab hadits. Pada masa ini, lebih mengarah kepada
usaha mengembangkan beberapa variasi pen-tadwin-an terhadap kitab-kitab yang
sudah ada. Masa ini yang disebut masa terakhir kodifikasi hadits. Tetapi, bukan
berarti tidak ada lagi ulama yang menyusub kitab-kitab hadits shahih. Beberapa
ulama masih ada yang melakukan penyusunan kitab hadits sampai saat ini.
3.2 Saran
Dalam masa kodifikasi, para ulama
sudah melalui proses panjang dalam pengkodifikasian hadits. Untuk itu, kita
sebagai generasi penurus umat islam di Indonesia harus bisa menjaga keutuhan
dan mempelajari hadits yang telah susah payah di kodifikasi oleh
generasi-generasi sebelumnya. Selain itu, kita juga harus mengaplikasikan
ilmu-ilmu hadits dalam kehidupan sehari-hari sebagai pedoman kedua sumber hukum
Islam dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Sebagai umat Islam
seharusnya bisa mentafakuri proses sejarah pengkodifikasian hadits, khususnya
pada masa Inda Tadwin. Sejarah yang hiruk-pikuk dalam penulisan hadits menjadi
cerminan kuatnya hadits sebagai sumber kedua hukum Islam.
Soetari, Endang, 2008. Syarah dan Kritik Hadits dengan Metode Takhrij. Bandung: Amal Bakti Press,
Sahrani, Sohari, 2010. Ulmul hadits, Bogor: Ghalia Indonesia.
T.M. Hasbie Ash Shieddiqie, 1973. Sejarah Perkembangan Hadits, Jakarta: Bulan Bintang.
Soetari, Endang, 2008. Ilmu Hadits (Kajian Riwayah dan Dirayah), Bandung: CV Mimbar Pustaka.

Komentar
Posting Komentar